Halo, blog yang tak terurus. Terakhir aku post di sini kapan, ya? Hahaha, ternyata waktu ada tugas TIK jaman SMA. Aku sampai sempet lupa kata sandi masa. Huh. Loh, jaman SMA? Emangnya sekarang statusnya apa? Oke, sebelumnya aku mau memperkenalkan diri dulu. Namaku Shafira Layla Khairinnisa. Biasa dipanggil Fira atau Mpir dan kadang-kadang "Alay", haha. Jaman SMA-ku berakhir pada tanggal 18 Mei 2015 (hari kelulusan dari sekolah). Sekarang apa statusnya? Pengangguran. Ya, pengangguran. Kalo mau dihalusin dikit, bisa pakai kata "alumni" kali, ya.
Beda sama teman-teman seangkatanku pada umumnya yang udah kuliah.
Sepupuku yang seangkatan juga udah pada kuliah dan lulusan SMK yang udah kerja.
Sementara aku nggak. Aku nganggur. Sekilas kelihatannya gak berguna sama sekali
karena memang gak menghasilkan apa-apa. Hal ini juga sebenarnya bikin aku nggak
percaya diri untuk tulis post ini. Karena rasanya aku nggak punya apa-apa. Yang
bisa aku ceritain hanyalah untaian kegagalan ... gimana bisa percaya diri coba?
Tapi cover buku yang indah banget dihiasi ilustrasi sebagian kecil dari jagat
raya itu jadi motivasi. Uhuk :p terlepas dari itu, ternyata tahun lalu juga ada
yang posisinya kayak aku, tapi tetep ikutan cerita. Hehehe. Yang jadi syarat
bukan harus ada prestasi, kan, Zen? Yang penting sesuai tema "My Journey
with Zenius"?
Jujur aja, sedih rasanya. Meski udah sekitar enam bulan terlewati
semenjak aku memutuskan untuk gak kuliah, tapi pressure-nya masih kerasa. Semuanya
berawal dari grup-grup kelas yang ngeluh, "Guys, ternyata kuliah capek.
Aku pengen balik ke SMA!" ya pokoknya kata-kata begitu.
Rasanya pengen menanggapi, "Bersyukurlah. Di sini ada yang
pengen kuliah ...."
Sampai orang-orang yang kenal maupun asing tanya, "Neng, kuliah
di mana? Neng, sekarang masih sekolah atau kuliah?" Dan yang paling sedih
itu ketika aku mau isi sebuah form kepanitiaan event online, di situ ditanya
statusku apa. Pelajar? Bukan. Mahasiswa? Bukan. Bekerja? Bukan juga. Dengan pedih
akhirnya mengisi opsi "lain-lain" dengan keterangan tidak bekerja.
Sedih ....
Kenapa bisa nganggur? Oke, aku mau cerita dulu lama sebelum kenal Zenius.
Dari SD sampai SMP, nilaiku bagus. Ranking juga oke. Jarang banget keluar dari
lima besar. Bahkan, saat kelulusan SMP bisa naik panggung ketika dipanggil
sepuluh orang dengan nilai tertinggi seangkatan, aku ada di urutan tujuh. Ini nggak
sepenuhnya bagus. Karena ini bikin aku kena sebuah penyakit yang kronis dan
sampai mengakut juga. Namanya sombong. Sebenarnya aku sadar bahwa aku udah
sombong di SMP juga. Tapi, sikap sombongku udah stadium empat, deh, kayaknya
pas di SMA. Sombong yang dimaksud di sini bukan suka pamer, bukan gak suka
bantuin teman, bukan. Tapi, sombong yang bikin aku berpikiran, "Alah besok
ulangan cuma ini doang. Gak usah belajarlah. Pasti bisa." Gitu. Jelek, ya?
Bangeeet.
Nah, di SMA, prestasiku nggak bagus. Gak pernah lagi masuk lima
besar, bahkan sepuluh besar. Kenapa? Karena di SMA rasanya aku lebih fokus sama
ekskul juga. Sampai dispen-dispen gitu. Jadi banyak tugas yang masuknya telat,
ulangan yang nyusul, dan hal-hal ini jelas bikin imejku di mata guru-guru agak
geser. Geser maksudnya bukan gak waras, ya. Hahaha.
Suatu hari, salah satu teman
seperjuangan di ekskul kena tegur dari guru lewat sebuah pertanyaan yang menohok,
"Kamu mau sekolah atau mau ekskul?" Aku nggak denger langsung. Dia
cerita sama aku. Dan pas cerita, aku sama-sama tertohok juga karena pertanyaan
itu pun pantas ditanyakan untuk aku. Selain ekskul, ya karena si sombong itu
tadi. Karena aku merasa udah bisa atau seenggaknya pasti bisa, aku nggak pernah
usaha sungguh-sungguh dalam belajar. Dan hasilnya? Hancur berantakan. Intinya, hidupku
di SMA sebagai pelajar itu kacau. Dan aku baru membagi fokusku agar lebih
condong ke sekolah saat semester empat dan seterusnya. Nah, habis itu nilai
lumayan lagi. Meski tetap aja nggak kenal lagi apa itu sepuluh besar. Meringis
sendiri, deh, waktu ngetik ini, huhu.
Kembali lagi soal sombong. Meski aku gak pernah masuk sepuluh besar,
aku tetep dipercaya teman-teman untuk jadi sumber pertanyaan. Mereka kalo gak
ngerti tanyanya ke aku, padahal jelas banget kalo dilihat dari prestasi, aku
tuh gak layak. Anak-anak pinter juga sering ngajak diskusi soal pelajaran.
Sampai ada satu temanku yang ngomong, "Kalo aku sebangku sama Alay,
mungkin aku udah pinter," setelah aku ngejelasin sebuah materi yang dia
tanya. Disusul oleh persetujuan teman-temanku yang minta ajarin di saat yang
sama. Terharu dengernya, seriuuus. Tapi, gak bagus juga buat aku yang
sebelumnya memang sombong. Dan hal-hal ini bikin aku berpikiran, "Berarti
aku masih dianggap pinter, ya, meski nilainya gak bagus?" Nah, sombong
lagi, deh. Padahal tiap semester aku selalu ditampar sama nilai yang jelek.
Parahnya, aku masih sombong. Duh, jadi gemes sama diri sendiri di masa lalu.
Intermezzo sedikit soal panggilan "Alay". Itu berawal dari
Latihan Kepemimpinan Siswa yang harus diikuti semua anak kelas sepuluh. Namaku
Shafira Layla. Shafir-alay-la. Hahaha. Jadi, waktu itu disuruh tanda tangan
untuk presensi. Kebetulan aku kelewatan. Pelatih ada yang ngomel, "Ini
disuruh tanda tangan aja susah. Mana Shafira?" Kompak kelasku tanya,
"Shafira apa, Kang?" Soalnya di kelas nama Shafira ada dua. Pelatih
itu ngomong depan microphone, "Shafira apa ini? Shafira Alay." Yaudah
dari situlah berawalnya aku dipanggil alay.
Oke, kembali lagi. Pokoknya sombong udah merusak banget. Banget. Bangeet!
Sombong udah bikin aku malas. Sombong bikin aku tutup mata. Sombong bikin aku
kebal dari tamparan nilai-nilai rapot jelek. Kacau, deh. Puncak nilai rapot
jelek itu ketika semester lima. Kebetulan orangtua ada urusan pekerjaan jadi
nggak bisa ambil rapot. Berbekal surat permintaan maaf dari orangtua, aku
menghadap wali kelas paling akhir. Teman-temanku yang lain, yang udah pegang
rapot dari orangtua mereka, ikutan masuk karena kepo soal ranking
masing-masing. Dan ternyata, ranking-ku saat itu adalah ranking terakhir.
Kaget? Kaget! Habisnya teman-temanku yang minta diajarin sama aku aja jauh di
atas aku.
Usut punya usut, ternyata kesalahan itu ada di lembar nilai. Masa
nilai bahasa Inggris nol di rapot? Sejelek-jeleknya, nggak akan mungkin nol,
kan, kalo di rapot? Teman-temanku semuanya syok. Aku nangis parah. Kaget banget.
Mereka belain aku di depan wali kelas. "Bu, nggak mungkin! Shafira Inggrisnya
bagus!" Di kelas sering jadi kamus berjalan, sih, makanya mereka kasih
pembelaan begitu. Dan ternyata memang nilaiku gak ketulis, padahal bukan nol
-_- jauh banget. Tapi aku lupa tepatnya berapa. Meski tetep deh ranking-nya
juga gak masuk sepuluh besar setelah nilai kosong itu diperbaiki. Dan pembelaan
teman-teman itu bikin aku tambah besar kepala lagi. Yaaaah ....
Hari-hariku dengan nilai yang gak bagus terus berjalan sampai UN.
Seminggu sebelum UN, aku nangis karena takut. Hmm ... orang-orang sibuk mencari
kunci jawaban, sementara aku nggak mau pakai yang kayak begitu. Kepengen dan
harus jujur. Aku nangis karena ngerasa gak siap. Ya akhirnya siap gak siap
hadapi aja, kan. Pada dasarnya aku memang bukan orang yang gila nilai. Cuek
sama nilai. Prinsipku selama sekolah bukan, "Harus punya nilai
bagus!" tapi, "Yang penting ngerti ajalah." Jadi ... saat nilai
UN jelek juga ... awalnya memang nyesek banget. Kayak susah napas. Tapi itu gak
lama. Langsung terlupakan aja karena aku punya hal lain yang perlu fokus,
SBMPTN. Waktu itu udah dapat kabar bahwa aku nggak masuk SNMPTN. Dan di sinilah
awal-awal aku kenal sama Zenius.
Karena masih punya sombong, aku ngelihat orang-orang belajar dari
jauh-jauh hari untuk SBMPTN komentar dalam hati, "Wih, rajin banget udah
belajar SBMPTN!" Apa hubungannya sama sombong? Aku ngerasa bakal keterima
SNMPTN, sih. Makanya baru mulai belajar untuk SBMPTN setelah tau nggak
keterima. Dodol banget, ya?
Nah, sekalian titip pesan untuk adek-adek yang masih SMA. Jangan
terlalu berharap sama SNMPTN, deh. Sekece apa pun sekolahmu, sekece apa pun
nilai rapotmu. Jangan. SNMPTN itu nggak bisa ditebak. Kalo mau menggantung
nasib kuliah, paling tepat ya pada SBMPTN. Karena SBMPTN punya penilaian yang
jelas, yaitu harus punya hasil tes lebih tinggi dari saingan yang lain. Di
SNMPTN, ada beberapa kasus, aku lihat orang lain mengalami ini dan aku pun
mengalami sendiri, nilai rapot lebih tinggi nggak menjamin lolos. Bahkan,
sampai keluar kata-kata dari beberapa orang bahwa SNMPTN itu untung-untungan
....
Okay. Kembali lagi. Sebenernya kenal Zenius udah dari sebelum itu.
Aku belajar untuk UN matematika dengan cara cari-cari video di youtube. Dan
setiap lagi nonton, di rekomendasi selalu ada Zenius. Penasaran, kan. Aku cek,
deh. Taunya itu semacam tester dan untuk lebih lanjut harus bayar, wkwk.
Langsung close tab karena aku pecinta gratisan :p lagian saat itu udah bimbel
juga. Jadi aku pikir bayaran di luar iuran sekolah cukup bimbel aja, gak usah
ditambah. Dan akhirnya nyesel banget. Coba kalo gak terlalu irit jadi orang.
Mungkin nilai UN-ku bisa lebih baik dari yang kupunya sekarang T_T huhuhu. Nah,
jadi, nggak usah ragu deh pakai Zenius, meski kamu orangnya irit, haha. Uang yang
dikeluarin worthy banget, kok! Cenderung gak mahal juga. Pun lebih efektif dan efisien.
Coba buka zenius.net untuk info lebih lanjut :D di sana banyak testimoni kece
juga.
Ketika mau serius belajar untuk SBMPTN, aku awalnya bingung mulai
dari mana. Bimbel juga aku hanya daftarnya yang sampai UN, pula. Jadi terpaksa
harus belajar sendiri di rumah. Bingung banget. Padahal pengennya masuk ITB.
Ini termasuk sombong juga, ya, kayaknya. Masa H-30 baru mau mulai belajar
SBMPTN, pengennya ITB. Hadeeeh.
Aku chat di grup kelas. "Ada yang daftar ITB tapi gak
bimbel?" atau "Ada yang ikut SBMPTN tapi gak bimbel?" Aku lupa
tepatnya gimana. Udah lama juga, hehe. Terus ada satu orang yang langsung chat
secara personal ke aku, "Nape, Lay?" (Baca: "Kenapa, Lay?")
Aku langsung tanya dia belajarnya gimana, pakai apa, dll, dll. Akhirnya dia
jawab pakai CD zenius yang emang dia udah punya. Aku tanya banyak akhirnya aku
sampai ke website zenius.net. Dan di sana ketemu sama akun
twitter @zeniuseducation, ada artikel Kalo Gua Baru Mau Belajar SBMPTN dari Sekarang, Masih Sempet Nggak, Ya? aku baca sambil cemas-cemas, dan tertohok
karena sadar bahwa aku dodol banget baru mulai belajar SBMPTN saat itu. Sempet
down karena langkah awal aja udah telat, tapi yaudahlah daripada menyerah
mendingan usaha dulu meski telat banget. Dan maju lagi juga setelah baca artikel itu karena sadar masih ada cara.
Akhirnya memutuskan untuk beli voucher sebulan tanpa mikirin soal
irit lagi. Karena aku pikir hanya ini satu-satunya jalan. Dan setelah buka-buka
videonya, ternyata satu-satunya jalan, tapi jalannya pun jalan yang indah ....
Eaaaa. Tapi serius. Meski berliku (ya mana ada sih belajar yang gak berliku
haha) tapi indah karena gampang ditangkap. Cocok juga sama metode belajar aku
yang memang bener-bener nggak suka menghafal. Sebenarnya nggak suka menghafal
ini lahir dari malas. Jadi mikirin gimana caranya belajar tanpa menghafal (saat
itu gak tau juga bahwa metode menghafal ternyata salah). Saat itu pun gak sadar
bahwa aku punya sebuah metode, dibuat mengalir aja. Pokoknya dipikirin cara
yang enak. Untuk kasus yang gampang, misalnya, daripada aku hafalin definisi
kecepatan, aku lebih suka memahami v = s/t. Dari v = s/t sendiri udah bisa
didapat juga definisi kecepatan itu apa. s per t. Jarak yang ditempuh tiap
satuan waktu.
Ya pokoknya ketemu Zenius berasa ketemu jodoh belajar. Nggak pernah
merasa sesenang dan enjoy itu saat belajar selain sama Zenius. Meski kadang
ngantuk juga karena hanya satu arah. Kalo di sekolah, kan, kadang guru
tanya-tanya gitu ke murid biar nggak ngantuk. Nah, solusiku biar gak ngantuk,
aku selalu catat hal-hal kecil yang bakalan bikin aku ingat sama penjelasannya.
Jadi semacam bikin catatan kecil gitu. Sebenarnya ini tujuannya biar gak
ngantuk, tapi ternyata lumayan juga efeknya.
Dalam seminggu, kuota yang aku beli sekitar 3-4 GB, lupa tepatnya
berapa, habis. Dipakai untuk update firefox, update flash player, dan dipakai
nonton video di zenius.net. Terus aku disalahin sama adek-adekku karena itu
modem "umum" di rumah. Bingung, deh. Mau nonton Zenius lagi, FUP-nya
udah habis dan tinggal sisa-sisa napas dari unlimited yang lemot banget. Gak
kuat play video.
Akhirnya ke warnet yang letaknya cukup jauh dari rumah. Rumahku di
pinggir jalan raya, dan warnet di ujung perumahan yang cukup besar. Itu warnet
paling dekat pula, ditempuh pakai kaki. Sampai di sana ternyata ini warnetnya
lebih sering dikunjungi sama anak-anak yang suka main game online. Jadi, firefox-nya
nggak ter-update dan bikin saat buka zenius.net muncul layar merah. Kan
kesannya kayak buka macem-macem, muncul layar merah terus ada peringatan gitu -__-
isi peringatannya tentang certificate is not trusted, sih. Aku browsing mengenai
itu karena malas tanya, katanya karena internet browser yang dipakai gak up-to-date. Kalo di rumah, kan, gampang tinggal update. Masalahnya ini di warnet.
Akhirnya aku menyerah pada rasa malas dengan cara tanya yang jaga
warnet, disuruh pindah. Aku berkali-kali pindah sampai akhirnya aku tau bahwa
satu-satunya PC yang bisa buka zenius.net di situ hanyalah client nomor satu,
dari tujuh sisanya. Jadi, setiap kali client nomor satu ada yang isi, harus
sabar menunggu sampai selesai :") aku selalu datang jam lima sore ke warnet,
karena itu jam pulang anak-anak. Yang punya warnet itu kayak udah dikasih
amanat gitu sama orangtua anak-anak lain, suruh pulang kalo udah sore, hahaha. Lagian
di sana, kan, nggak ada headphone, jadi pakai speaker. Pernah sekali belajar
saat masih banyak anak-anak. Berisiknya suara tembak-tembakan dan game lainnya
bikin gak fokus banget Y_Y dan ada kalanya aku menerima sebuah tatapan aneh
setelah ada yang curi dengar video yang aku play. Pelajaran semua sih, haha. Ya
akhirnya selalu datang menjelang magrib. Ikut solat magrib di sana. Rasanya
jadi agak deket juga sama keluarga yang punya warnetnya, hehe. Pulang biasanya
jam delapan atau setengah sembilan.
Kalo dilihat dari kuantitas waktu belajar di sebulan sebelum SBMPTN,
masih kurang banget, ya, untuk bisa masuk ITB? Memang sih di rumah juga
belajar. Dari buku-buku soal doang, tapi. Dan efeknya nggak sebesar belajar
dari zenius.net ... sampai hari H SBMPTN pun aku masih banyak banget yang nggak
bisa. Padahal aku baca cerita orang yang pakai Zenius pada bisa. Kesalahan
jelas terletak di aku. Dodol banget udah sombong selama ini. Sampai terjawablah
bahwa aku nggak lolos di pilihan mana pun. Doa ibuku yang bilang, "Sok, Neng,
Ibu doain semoga nanti bisa jadi dosen astronomi, ya!" Rasanya terngiang
terus dan bikin sedih ....
Oh, iya, di antara pelaksanaan dan pengumuman SBMPTN, aku ikut SIPENMARU
untuk POLTEKKES Kemenkes RI. Nggak terpikir sebelumnya. Tapi, karena udah tau
SBMPTN-ku kacau, aku ikut aja. Memang sempat punya minat di kesehatan juga,
cita-cita jadi dokter. Tapi, mulai menghilang semenjak aku mencoba realistis.
Kata ibuku coba aku daftar kebidanan aja. Oke, akhirnya daftar. Ikut tes. Udah
pasrah ajalah saat pengumuman. Taunya ... aku lolos seleksi akademis! Seneng
banget! Seenggaknya sebelum pengumuman SBMPTN, aku udah punya pegangan dan aku bakalan
kuliah. Aku peluk teman-temanku yang kebetulan lagi sama aku saat itu. Telepon
kedua orangtua yang lagi kerja, dan keduanya minta aku kasih tau cara bisa
lihat hasil aku itu. Di sana ada semacam pdf tentang keterangan daftar ulang
dan lain-lain. Namaku beneran ada di daftar orang-orang yang lolos! Nggak
percaya, beneran. Setelah hopeless sama SBMPTN meski belum tau hasil, di sini
justru aku ada di urutan kedua teratas! Thanks banget Zenius untuk ini. Soal tes
untuk masuk POLTEKES memang nggak sesulit SBMPTN, ternyata sebulan pakai Zenius
sekitar tiga jam sehari itu cukup. Dan ada di urutan kedua nilai tertinggi. Alhamdulillah
....
Pernyataan soal aku keterima di sini berkontradiksi sama pernyataan
yang aku tulis di paragraf awal bahwa aku nganggur. Kenapa bisa nganggur ketika
udah punya jalan untuk jadi calon bidan? Ternyata aku gak lolos di antara uji
kesehatan, psikotes, atau wawancara. Padahal, aku udah gak apa-apa gak bisa
kuliah astronomi, seenggaknya aku bisa kuliah mengenai kesehatan juga yang satu
bidang sama cita-cita yang terkikis rasa realistis, dokter. Apalagi, mengingat
bidan itu akan punya amalan yang besar juga, membantu melahirkan. Rasanya luar
biasa kalo beneran bisa jadi bidan.
Ternyata realita berkata lain. Ketika tau aku batal masuk sana, aku
nangis seharian. Mataku bengkak. Ibuku udah tenangin tapi aku tetep nangis.
Ayahku ada di luar kota, aku teleponin. Sampai tengah malem aku ngerasa ada di
titik paling rendah banget, aku telepon ayahku lagi. Sebelum itu aku baca
artikel Gak Lolos SNMPTN, SBMPTN, & Ujian Mandiri. What should I do? sambil nangis-nangis. Hehe, dasar
cengeng, ya.
Akhirnya aku tanya, "Kalo Fira mau tunda kuliah setahun, boleh,
nggak?"
Dijawab kayak gini, "Fir, yang namanya telat itu ada banyak.
Ada orang yang udah kuliah, taunya nggak sreg, dia telat lanjut ke semester
selanjutnya atau telat lulus. Ada juga yang udah lulus, telat dapat pekerjaan. Kalo
kamu mau tunda setahun, nggak apa-apa. Berarti kamu telatnya itu telat masuk
kuliah. Ya mudah-mudahan ke depannya kamu nggak mengalami telat-telat lainnya.
Mungkin memang ini jalannya."
Habis denger itu nangis lagi ... tapi udahnya langsung lega. Meski
di sana sini aku kena semprot karena nggak mau kuliah dulu. Terlebih lagi,
ibuku dosen. Nggak hanya sekali dua kali aku denger, "Ibunya kan dosen. Masa
gak tau mau kuliah di mana?", "Kenapa gak kuliah di kampus tempat ibu
ngajar?" Duh, tekanannya. Masih terasa sampai sekarang juga, karena
pertanyaan "Kamu kuliah di mana sekarang?" masih terus ada. Dan
ketika aku bilang aku gak kuliah, kata-kata itu biasanya disebut lagi. Dan itu
kadang bikin aku sendiri ngerasa insecure, sering tanya sama diri sendiri,
"Kamu tuh gimana, sih? Anak dosen masa gak kuliah?" Tapi saat
dibilang kuliah di kampus ibu aku tetap nolak. Aku nggak bisa memaksakan diri
kuliah di jurusan yang nggak aku pengen. Masalahnya, di sekolah, belajar satu
mata pelajaran yang nggak aku suka aja udah nggak bener. Apalagi jurusan? Pasti
bakalan kacau. Terus aku disuruh browsing sana-sini kampus swasta. Tetep gak
sreg. Entah mungkin akunya aja kali ya udah putus asa duluan. Habisnya nyesek
bangetlah. Udah ada di peringkat dua nilai tertinggi tes akademis, taunya
dikasih kejutan bahwa gak lolos. Kayak dilambungin tinggi-tinggi, terus
dibanting sekeras-kerasnya.
Iya sih, kayaknya aku memang udah putus asa saat itu. Nggak tau mau masuk jurusan apa. Padahal aku udah jatuh cinta sama dunia medis setelah browsing banyak hal. Aku browsing habis keterima tes akademis kebidanan karena sebelumnya gak punya gambaran apa-apa. Aku juga udah jatuh cinta sama astronomi karena rasanya hanya ini yang bikin aku bertahan kepo selama berjam-jam. Berdasarkan artikel Strategi Milih Jurusan di SBMPTN, ada kutipan kayak begini, "Pilih bidang yang membuat lo tertantang... Pilih bidang yang bikin lo penasaran sampai lo rela buat ngulik itu siang-malem tanpa kenal waktu biar gak dibayar sekalipun. Pilih bidang yang tanpa disuruh pun lo curi-curi waktu buat belajar sendiri, atau tanpa sadar suka cari-cari info di internet atau lewat google.. Pilih jurusan memicu 'sense of wonder' dalam diri lo. Pilih jurusan yang bener-bener jadi muara ilmu pengetahuan yang ingin lo tekuni sampai akhir hayat lo..." Dan aku kayak gitu ketika kepoin medis, astronomi, dan sastra. Tapi kalo sastra nggak sekepo medis dan astronomi, hanya sekadar hobi nulis dan baca gitu. Jadi udah nggak tau banget mau kuliah di mana. Itulah yang bikin aku memutuskan untuk menunda kuliah. Meski denger banyak, "Kamu ngapain dong?" yang bikin tertohok juga. Ya gitu deh ...
Tapi, setelah baca artikel Catatan Perjuangan Tutor Zenius Menempuh SBMPTN - Part 01, ada kata-kata "Kalo lo liat ada satu kesamaan dari setiap perjuangan para tutor-tutor di atas, yaitu adanya PENGORBANAN. Nah, sekarang apa aja sih yang udah lo perjuangkan dan korbanin buat masa depan lo sendiri?" Aku langsung sadar bahwa menunda kuliah setahun itu gak melulu jadi tekanan doang. SBMPTN butuh yang namanya pengorbanan. Dan untuk SBMPTN 2015, aku nggak berkorban apa-apa rasanya. Atau kalaupun berkorban, pengorbanannya nggak cukup. Jadi, setahun ini akan jadi pengorbanan aku. Pengorbanan hati dan telinga. Harus kebal denger omongan orang lain.
Dan setelah dipikir-pikir lagi, menunda setahun itu gak sepenuhnya
rugi juga. Karena tanpa menunda, aku gak akan kenal Zenius sedalam ini. Hanya
kenal luarnya, hanya kenal cara mengajarnya. Sementara sekarang, dengan menunda,
aku jadi punya banyak waktu untuk lebih mengenal cara-cara dari Zenius. Bukan
sekadar cara mengerjakan soal, tapi cara membangun fondasi belajar yang mana
penting banget untuk kelanjutan proses menuntut ilmu.
Penyesalan memang masih ada, ini gak bisa dipungkiri. Tapi,
berlarut-larut bersama penyesalan itulah yang salah. Dan yang bikin aku bangkit
lagi adalah Zenius, hehehe. Setiap kali sedih karena gak punya kesempatan kuliah
tahun ini, berbarengan dengan teman-teman seangkatanku yang lain, aku akan
inget seberapa beruntungnya aku punya waktu banyak untuk belajar bersama
Zenius. Nyesel sih tetep, penyesalan ini juga dibutuhkan untuk motivasiku agar
jangan sampai gagal dan menyesal LAGI, tapi seenggaknya penyesalannya gak sebesar
sebelumnya. Karena segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Dan hikmah yang aku
dapatkan dari menunda kuliah adalah bisa belajar bareng Zenius dan memperbaiki
fondasi belajarku yang ternyata sebelumnya lemah banget.
Untuk SBMPTN 2016, aku udah percaya sama Zenius buat sumberku
belajar. Belajar sebulan pakai Zenius aja bisa dapat peringkat kedua tertinggi
di tes akademis POLTEKES, apalagi kalau dalam jangka waktu yang jauh lebih panjang?
Hehehe. Tadinya aku pengen banget ikut Zenius X. Tapi karena takut membebani
orangtua dengan biaya hidup di kota orang, akhirnya batal. Pokoknya aku udah
percaya sama Zenius untuk bantu aku. Tapi, aku pikir aku masih butuh kayak yang
namanya try out dan keluar rumah juga. Biar nggak kelihatan nganggur banget,
seenggaknya pergi les, gitu. Browsing-lah mengenai biaya les. Mahal-mahal.
Sementara Zenius kalo mau Xpedia 2.0 bisa didapatkan dari satu per sembilan
atau satu per dua belas dari biaya les-les itu. Akhirnya cukup Xpedia 2.0 aja.
Nggak pakai les-les lain.
Dan Xpedia 2.0 doang, tanpa bimbel lagi rasanya udah lebih dari
cukup. Waktu UN, aku takut sama kimia dan matematika. Gak bisa, gak suka. Tapi
setelah belajar dari Zenius, aku jadi suka kimia. Enjoy belajar matematika, dengan postulat-postulat ajaib dari Bang Sabda yang sempet bikin ketawa-ketawa karena ada integral kodok. Gak
takut lagi. Dan udah bisa. Dan untuk pelajaran lain yang sebelumnya gak aku
takuti, aku jadi tambah enjoy juga belajarnya. Bener emang kata-kata yang ada
di front page website Zenius, tentang bahwa belajar dari sini memang fun :D dan
aku juga setuju sama orang-orang yang bilang belajar bersama Zenius itu bikin
ketagihan. Jadi bener-bener menikmati seperti apa esensi menuntut ilmu yang
sesungguhnya. Tanpa target untuk nilai bagus atau ini itu.
Sejujurnya, saat pakai Zenius sebelum SBMPTN 2015, aku sama sekali
nggak buka tab Zenius Learning. Aku pikir kayak gini: "Ah, fokus aja sama
materi. Waktunya mepet buat nonton video motivasi mah." Padahal isinya
bukan cuma video motivasi. Di sana ada petunjuk belajar juga, padahal saat itu
aku bingung gimana cara mulai belajar SBMPTN!!! Untung sekarang punya banyak
waktu, aku tontonin satu-satu. Dan dengan segala yang ada di sana bisa
membimbing aku gimana caranya belajar yang benar, gimana caranya membagi waktu
dengan baik, dan lain-lain. Dan jelas pengaruhnya aku jadi lebih semangat. Thanks
banget, ya, Bang Sabda! Jadi nyesel juga dulu mikirnya pendek banget, hehehe.
Dari video-video itu aku tau bahwa sesungguhnya malas itu nggak
sepenuhnya salah. Karena berdasarkan salah satu video di Zenius Learning, malas
itu bikin kita mencari jalan lain yang lebih praktis. Seperti yang udah aku ceritain
di atas, soal aku malas menghafal dan lebih suka memahami konsep, hehehe.
Selain itu, sombong juga gak sepenuhnya salah. Asalkan aplikasinya benar. Misalnya,
sombong untuk sugesti bahwa kita pintar, kita cerdas, dan hal itu bikin
kecerdasan bertambah juga, kan? Inget banget ini dibahas dengan judul poin
"proaktif" di sana :D Ya, asalkan jangan sampai kayak aku sebelumnya.
Gara-gara sombong malah jadi gak mau belajar. Ini yang salah.
Dari sana aku tau bahwa kebiasaan-kebiasaan jelekku gak sepenuhnya
salah. Yang salah itu adalah caraku menyikapinya. Setelah nonton video di
Zenius Learning, paradigmaku berhasil diperbaiki sedikit demi sedikit. Fondasi
belajarku semakin kuat. Motivasiku bukan hanya semata-mata untuk masuk PTN.
Tapi, ingin menikmati juga yang namanya esensi belajar.
Dulu pernah dengar sebuah kalimat, entah dari mana tepatnya, lupa. Begini,
"Apa-apa itu yang harus diperbaiki adalah niatnya. Kalau kamu belajar
hanya dengan niat mendapat nilai bagus, ya gak aneh kalau setelah dapat nilai
bagus, kamu akan lupa materinya. Coba ubah niatnya. Kalau niatnya untuk
ngerti materinya pasti akan menerap dengan lama." Nah, kalau niatku
belajar hanya untuk masuk PTN, agak khawatir nih nanti kelarnya malah lupa
semua yang udah dipelajari. Kan sayang. Itu semacam ilmu yang terbuang begitu
aja, sementara usaha untuk menuntut ilmu sendiri itu penuh usaha dan gak
gampang. Makanya niatnya kuperbaiki lagi, yaitu untuk menikmati esensi menuntut
ilmu, dan ingin mengerti. Dan Zenius adalah media yang paling tepat yang bisa
membuatku konsisten terhadap niat ini.
Cerita perjalananku bersama Zenius baru sampai sini. Yang berawal
dari irit gak mau keluarin duit ketika ketemu Zenius di youtube, harapan yang
pupus untuk keterima SNMPTN, akhirnya yakin pakai Zenius setelah tanya-tanya
teman sebulan sebelum SBMPTN, mulai belajar sampai kuota FUP habis, jalan jauh
ke warnet dan nunggu client nomor satu kosong, lolos tes akademis masuk
POLTEKKES, gagal di SBMPTN karena usahanya memang kurang kenceng, merasa down,
bangkit lagi berkat baca artikel-artikel di Zenius, dan belajar pakai Xpedia
2.0 sampai sekarang. Perjalananku belum selesai. SBMPTN masih di depan mata.
Dan aku akan menghadapinya berbekal isi dari kotak ilmu bernama Xpedia 2.0.
Jadi ... to be continued dulu. Semoga lanjutannya bisa berisi cerita
perjuanganku masuk PTN dan hasilnya yang berhasil. Aamiin. Dan Zenius akan tetap
jadi rekan belajar terbaikku sampai nanti :D